a Metode khusus pendidikan agama. Metodik pendidikan agama menurut Al-Ghazali, pada prinsipnya dimulai dengan hafalan dan pemahaman, kemudian dilanjutkan dengan keyakinan dan pembenaran, setelah itu penegakan dalil-dalil dan keterangan yang menunjang penguatan akidah. ALIMAM AL GHAZALI mengatakan bahwa MANUSIA itu terbagi menjadi empat (4) golongan :mari kita simak video berikut iniSemoga bisa menjadi bahan renungan dan i Berikut4 golongan atau mereka yang memiliki perangai istimewa dan nanti akan dibalas dengan surga. 1. Rendah hati, tidak sombong, serta tanpa meremehkan. Bahwa golongan pertama orang yang tidak masuk neraka adalah orang yang rendah hati, tidak sombong, dan tidak meremehkan orang lain. Menurut Abu Hatim dalam kitab Raudlatul Uqala’ wa Musakepada Khidr a.s dalam firman Allah s.w.t dalam (Surah al-Kahf 18:71). Pergaulan Dengan Rakan Menurut Imam al-Ghazali (2012) terdapat beberapa tatacara bergaul dalam persahabatan yang harus diamalkan. Antaranya ialah, pertama menghadkan atau Vay Tiền Trả Góp Theo Tháng Chỉ Cần Cmnd Hỗ Trợ Nợ Xấu. Berpasangan-pasangan adalah bagian dari ajaran syariat. Manusia diciptakan berpasang-pasangan agar dapat melanggengkan keturunan sesuai dengan tuntunan syariat agama Islam. Tetapi tentu saja dalam memilih pasangan hidup, Islam memberikan tuntunan. Imam Al-Ghazali menyebutkan delapan kriteria yang perlu diperhatikan dalam memilih pasangan. Imam Al-Ghazali menyebutkan delapan hal ini agar akad perkawinan menjadi langgeng dan kebahagiaan perkawinan terwujud. Imam Al-Ghazali menyebutkan religiusitas/keagamaan dan akhlak pada dua poin pertama. Hal ini menunjukkan bahwa dua poin tersebut merupakan faktor penting yang patut diperhatikan mengingat perkawinan tidak hanya berisi jalinan hubungan di dunia, tetapi juga di akhirat. أما الخصال المطيبة للعيش التي لا بد من مراعاتها في المرأة ليدوم العقد وتتوفر مقاصده ثمانية الدين والخلق والحسن وخفة المهر والولادة والبكارة والنسب وأن لا تكون قرابة قريبة Artinya, “Adapun hal-hal menyenangkan kehidupan pasangan rumah tangga yang harus diperhatikan pada perempuan agar akad perkawinan menjadi langgeng dan tujuan perkawinan terpenuhi berjumlah 8 hal yaitu ketaatan pada agama atau religiusitas, akhlak, kecantikan, keringanan mahar, kesuburan, status keperawanan, nasab, dan bukan kerabat dekat,” Imam Al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, [Beirut, Darul Fikr 2015 M], juz II, halaman 43. Tanpa menafikan atau meremehkan poin lainnya, agama/religiusitas dan akhlak mendapat tempat yang cukup penting mengingat urgensinya yang cukup tinggi dalam kehidupan rumah tangga kelak. Agama menempati poin pertama sebagaimana hadits nabi yang sangat populer terkait kriteria calon pasangan. Perempuan salihah akan membantu ketenangan hati suami. Kalau tidak salehah, tentu perempuan tersebut akan menjadi ujian bagi kehidupan rumah tangganya. إِنَّ الْمَرْأَةَ تُنْكَحُ لَدِينِهَا، وَمَالِهَا، وَجَمَالِهَا، فَعَلَيْكَ بِذَاتِ الدِّينِ، تَرِبَتْ يَدَاكَ Artinya, “Perempuan dinikahi karena agama, harta, dan keelokannya. Pilihlah karena agamanya. Celakalah kamu kalau tidak agamanya itu,” HR Muslim, At-Tirmidzi, An-Nasai, dan Ahmad. Tentu saja delapan poin ini bukan sesuatu yang mutlak dan absolut bagi semua orang. Tidak semua orang setuju dengan delapan hal yang disebutkan di atas. Tetapi semua orang bersepakat pada sebagian poin di atas, misalnya soal religiusitas atau akhlaknya. Dengan kata lain, setiap orang berhak memiliki kebahagiannya masing-masing sehingga setiap orang memiliki rumusan sendiri dalam memilih calon pasangannya. Sebagian orang merasa nyaman memilih pasangan yang disukainya tanpa mempertimbangkan status keperawanan, nasab, dan kesuburan. Tetapi seyogianya seseorang perlu mempertimbangkan aspek religiusitas dan akhlak pasangan karena keduanya sangat berpengaruh pada kehidupan rumah tangganya ke depan. Delapan poin ini juga tidak hanya berlaku bagi laki-laki dalam memilih pasangan, tetapi juga berlaku sebaliknya. Sumber NU Online Abstrak Ilmu adalah sesuatu yang sangat urgen dalam kehidupan manusia, dalam kehidupan manusia serba membutuhkan ilmu pengetahuan. Islam agama sempurna yang berlandasakan dengan Al quran dan hadits, islam sangat menekankan tentang kewajiban menuntut ilmu, bahkan ayat yang pertama turun adalah ayat tentang pendidikan. Begitu urgennya ilmu pengetahuan bagi manusia orang yang memiliki ilmu derajatnya di bedakan dengan orang yang tidak memiliki ilmu. Ilmu merupakan kunci dari kebahagiaan dunia dan akhirat, jika manusia ingin mendapatkan keridoan Allah maka manusia harus beribadah menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya itu juga harus menggunakan ilmu. Islam memerintahkan manusia menuntut ilmu tidak hanya semasa di bangku sekolah, tapi islam mengajarkan menuntut ilmu sepanjang hayat. Kata Kunci Menuntut Ilmu, Al qur " an , Hadis. Abstract Science is something very urgent in human life, in human life science department requires. Islam is perfect berlandasakan premises of Al-Quran and Hadith, Islam places great emphasis on the obligation to study, even the first verse is the verse about pendiddikan down. So urgenya human knowledge for people who own a science degree at the distinguished people who do not memelki science. Science is the key to happiness of the world and the Hereafter, if people want to get keridoan Allah that man should serve his run commands and avoid His prohibitions also must use the science. Islam ordered Manuia meneuntut science not only when I was in school, but Islam teaches long lif education A. Pendahuluan Islam adalah agama yang sesuai dengan fitrah manusia, Islam adalah agama yang mengangkat derajat dan martabat manusia. Islam adalah agama yang sangat perduli terhadap ilmu pengetahuan, bahkan pada awal ayat pertama kali yang turun adalah ayat tentang pendidikan, agama Islam tidak bisa di lepaskan dengan ilmu pengetahuan, karena islam sendiri berasal dari kata aslama, yang memiliki arti tunduk dan patuh terhadap kehendak Allah, seperti firman Allah pada surat Ali-Imron, ayat 83 Tidak selamanya hamba Allah SWT akan selamat dari godaan setan. Dalam kitabnya, al-Kasf wa Al-Tibyan fi Ghurur al-Khalq Ajma'in Menyingkap Aspek-aspek Ketertipuan Seluruh Makhluk, Al-Ghazali menyebutkan empat kelompok manusia yang tertipu. Keempat kelompok manusia itu adalah ulama atau cendikiawan, ahli ibadah, hartawan, dan golongan ahli tasawuf. Mereka itu tertipu karena ibadahnya. 1. Ulama atau Cendekiawan Menurut al-Ghazali, banyak sekali golongan ulama atau cendekiawan yang tertipu. Di antaranya, mereka yang merasa ilmu-ilmu syariah dan aqliyah yang dimiliki telah mapan cukup. ''Mereka mendalaminya dan menyibukkan diri mereka dengan ilmu-ilmu tersebut, namun mereka lupa pada dirinya sendiri sehingga tidak menjaga dan mengontrol anggota tubuh mereka dari perbuatan maksiat.'' Selain itu, ketertipuan para ulama atau cendekiawan ini juga dikarenakan kelalaian mereka untuk senantiasa melakukan amal saleh. Mereka ini, kata al-Ghazali, tertipu dan teperdaya oleh ilmu yang mereka miliki. Mereka mengira bahwa dirinya telah mendapatkan kedudukan di sisi Allah. Mereka mengira bahwa dengan ilmu itu telah mencapai tingkatan tertinggi Lebih lanjut al-Ghazali dalam kitabnya menjelaskan, orang-orang yang masuk dalam kelompok ini adalah orang-orang yang dihinggapi perasaan cinta dunia dan diri mereka sendiri serta mencari kesenangan yang semu. Selain itu, mereka yang tertipu adalah orang yang merasa ilmu dan amal lahiriahnya telah mapan, lalu meninggalkan bentuk kemaksiatan lahir, namun mereka lupa akan batin dan hatinya. Mereka tidak menghapuskan sifat tercela dan tidak terpuji dari dalam hatinya, seperti sombong, ria pamer, dengki, gila pangkat, gila jabatan, gila kehormatan, suka popularitas, dan menjelek-jelekkan kelompok lain. 2. Golongan Ahli Ibadah Golongan berikutnya yang tertipu, kata al-Ghazali, adalah golongan ahli ibadah. Mereka tertipu karena shalatnya, bacaan Alqurannya, hajinya, jihadnya, kezuhudannya, amal ibadah sunnahnya, dan lain sebagainya. Dalam kelompok ini, lanjut al-Ghazali, terdapat pula mereka yang terlalu berlebih-lebihan dalam hal ibadah hingga melewati pemborosan. Misalnya, ragu-ragu dalam berwudu, ragu akan kebersihan air yang digunakan, berpandangan air yang digunakan sudah bercampur dengan air yang tidak suci, banyak najis atau hadas, dan lainnya. Mereka memperberat urusan dalam hal ibadah. Tetapi, meringankan dalam hal yang haram. Misalnya, menggunakan barang yang jelas keharamannya, namun enggan meninggalkannya. 3. Golongan Hartawan Dalam kelompok hartawan, ada beberapa kelompok yang tertipu. Menurut al-Ghazali, mereka adalah orang yang giat membangun masjid, membangun sekolah, tempat penampungan fakir miskin, panti jompo dan anak yatim, jembatan, tangki air, dan semua amalan yang tampak bagi orang banyak. Mereka dengan bangga mencatatkan diri mereka di batu-batu prasasti agar nama mereka dikenang dan peninggalannya dikenang walau sudah meninggal dunia. Selanjutnya, kelompok hartawan yang tertipu adalah mereka yang memperoleh harta dengan halal, lalu menghindarkan diri dari perbuatan yang haram, kemudian menafkahkannya untuk pembangunan masjid. Padahal, tujuannya adalah untuk pamer ria dan sum'ah mencari perhatian serta pujian. Lalu, mereka yang tertipu dalam kelompok ini adalah mereka yang menafkahkan hartanya untuk fakir miskin, penampungan anak yatim, dan panti jompo dengan mengadakan perayaan. 4. Golongan Ahli Tasawuf Golongan selanjutnya yang tertipu, kata Imam al-Ghazali, adalah golongan ahli tasawuf. Dan, kebanyakan mereka muncul pada zaman ini. Mereka yang tertipu adalah yang menyerupakan diri mereka dengan cara berpakaian para ahli tasawuf, cara berpikir dan penampilan, perkataan, sopan santun, gaya bahasa, dan tutur kata. Mereka juga tertipu dengan cara bersikap, mendengar, bersuci, shalat, duduk di atas sajadah sambil menundukkan kepala, bersuara rendah ketika berbicara, dan lain sebagainya. sumber AntaraBACA JUGA Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Klik di Sini Di kalangan sunni, khususnya di Indonesia, Imam al-Ghazali merupakan ulama yang masyhur. Imam al-Ghazali terkenal berkat keluasan ilmunya dalam segala bidang, mulai dari tasawuf, fikih, teologi hingga filsafat. Di samping itu, pemikiran Imam al-Ghazali menjadi rujukan serta pijakan dalam bidang tasawuf. Hal itu terbukti dari banyaknya karya Imam al-Ghazali yang dikaji di berbagai pesantren di Indonesia. Masterpeace Imam Ghazali, Ihya Ulumudin menjadi daya tarik tersendiri di kalangan pesantren, bahkan perguruan tinggi untuk mengkaji dan menelitinya. Di masa dinasti Abasiyah dan Saljuk, Imam al-Ghazali sangat dihormati dan disegani banyak orang. Sampai pada waktu itu, Imam al-Ghazali mendapat gelar Hujjatul Islam. Gelar ini disematkan kepada beliau karena kemampuan daya ingat yang kuat dan bijak dalam berhujjah. Dalam pandangan Imam al-Ghazali, manusia terbagi menjadi empat golongan Pertama, Rojulun Yadri wa Yadri Annahu Yadri Seseorang yang Tahu berilmu, dan dia Tahu kalau dirinya Tahu. Menurut al-Ghazali, kelompok pertama adalah orang-orang yang alim = mengetahui. Bagi orang awam, yang masih butuh bimbingan, sudah seharusnya mengikuti laku lampahnya orang alim tersebut. Sebab, duduk bersamanya akan menjadi pengobat hati sekaligus menambah wawasan. Orang yang termasuk golongan ini, senantiasa akan mengamalkan ilmunya semaksimal mungkin. Ia tahu kalau dirinya memiliki keluasan ilmu, sehingga harus mengajarkan serta mengamalkan ilmunya. “Manusia jenis ini adalah manusia unggul. Manusia yang sukses dunia dan akhirat.” Kedua, Rojulun Yadri wa Laa Yadri Annahu Yadri Seseorang yang Tahu berilmu, tapi dia Tidak Tahu kalau dirinya Tahu. Orang yang kedua ini berbeda dengan orang yang tergolong kelompok pertama. Kalau orang pertama, kita harus mengikutinya. Namun kepada orang kedua ini, kita mengingatkannya. Ia memiliki ilmu dan kecakapan, tapi dia tidak pernah menyadari kalau dirinya memiliki ilmu dan kecakapan. Orang seperti ini acapkali dijumpai di tengah-tengah kita. Ia sejatinya mempunyai segudang potensi yang luar biasa. Akan tetapi, orang tersebut tidak tahu akan potensi yang ada pada dirinya. Sehingga selama dia belum bangun dan sadar diri, orang ini hanya sukses di dunia tapi rugi di akhirat. Ketiga, Rojulun Laa Yadri wa Yadri Annahu Laa Yadri Seseorang yang tidak tahu, tapi dia tahu bahwa dirinya tidak tahu. Orang yang masuk kategori kelompok ketiga ini, menurut Imam al-Ghazali, masih tergolong manusia yang baik. Sebab, ia meenyadari kekurangan yang ada pada dirinya. Sehingga, ia mampu menempatkan dirinya di tempat yang sepatutnya. Orang jenis ini akan senantiasa intropeksi diri dan mau belajar dari sebuah kesalahan. Dengan belajar, ia berharap suatu saat nanti bisa berilmu dan mampu menjadi lebih baik lagi. Orang seperti ini sengsara di dunia tapi bahagia di akhirat. Keempat, Rojulun Laa Yadri wa Laa Yadri Annahu Laa Yadri Seseorang yang Tidak Tahu tidak berilmu, dan dia Tidak Tahu kalau dirinya Tidak Tahu. Dalam pandangan Imam al-Ghazali, kelompok terakhir ini merupakan orang-orang yang paling buruk. Ia selalu merasa dirinya mengerti, tahu dan mempunyai ilmu. Padahal, ia tidak tahu apapun. Ibarat pepatah lama, tong kosong nyaring bunyinya. Tipologi orang seperti ini biasanya susah untuk disadarkan. Ia merasa benar dengan apa yang dikerjakannya dan akan membantah kalau diingatkan perihal kesalahan yang dilakukanya. Berurusan dengan orang yang seperti demikian akan terasa merepotkan dan susah. Sebab, ia merasa dirinya paling benar. Menurut Imam al-Ghazali, orang tersebut termasuk orang yang tidak sukses di dunia, juga merugi di akhirat. Untuk itu, mari kita senantiasa bermuhasabah atau intropeksi diri masing-masing agar menjadi pribadi yang lebih baik. *

4 golongan manusia menurut imam al ghazali